Sampah menjadi salah satu permasalahan yang tak kunjung selesai. Setiap harinya, setiap rumah menghasilkan sampah yang tidak sedikit. Bukan hanya bertumpuk di pembuangan akhir, sebagian masyarakat malah membuang sampah di jalanan, Sungai, bahkan laut.
Kesadaran akan pentingnya membuang sampah di lokasi yang tepat rasanya tidak cukup untuk mengatasi permasalahan sampah. Karena nyatanya di kota ku sendiri, volume sampah sudah tidak terkendali. Tempat penampungan tak lagi layak untuk terus diisi berton-ton sampah. Jika dipaksakan, sampah yang menumpuk akan menimbulkan masalah lain yang mengancam jiwa.
Adakah yang masih ingat peristiwa ledakan dan longsor yang terjadi tempat pembuangan sampah di kota cimahi pada 21 Februari 2005 silam? Longsor itu bahkan menimpa dua desa yaitu Cilimus dan Pojok yang menewaskan 157 orang. Mengerikan bukan?
Pengelolaan sampah sebelum berakhir di tempat pembuangan sampah menjadi salah satu solusi untuk meminimalisir volume sampah yang menumpuk. Hal inilah yang dilakukan oleh Arky Gilang Wahab, penerima apresiasi Satu Indonesia Award tahun 2021. Ia memberikan solusi alternatif untuk desanya terapkan yaitu Sistem Konversi Limbah Organik untuk Menciptakan Ketahanan Pangan.
Budi Daya Manggot, Solusi Mengurangi Volume Sampah
Sampah jualah yang kerap jadi permasalahan di Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja Banyumas. Desa menjadi terganggu karena sampah yang menumpuk dan menimbulkan bau tidak sedap. Arky pun terpikir untuk membuat budi daya manggot agar dapat mengurangi masalah sampah sekaligus membuat usaha pakan ternak dan ikan.
Ia kemudian mempelajari seluk beluk manggot karena di Banyumas, penjualan manggot sangat besar. Maggot baru-baru ini memang cukup popular. Maggot sendiri merupakan larva yang berasal dari telur dan bermetamorfosis menjadi lalat dewasa. Warnanya hitam sekilas mirip tawon. Namun tak perlu mempertanyakan bentuknya yang mungkin menggelikan. Karena maggot punya potensi menggiurkan untuk dibudidayakan.
Berkembang biak secara alami, maggot mudah untuk dikembangkan. Maggot pun hidup di lingkungan tropis dan media bersih sehingga tidak mengundang penyakit. Selain dapat mengurai masalah sampah, maggot dapat dijadikan pakan ternak dan juga pupuk.
Setelah mengetahui tahapan budidaya maggot, Arky mulai mengumpulkan sampah organik untuk dijadikan bubur sampah sebagai makanan maggot. Arky memanfaatkan maggot/larva lalat Black Soldier Fly (BSF) untuk mendekomposisi sampah organik. Kebetulan di lokasi ia menemukan banyak sampah organik, sehingga cukup potensial untuk digarap.
Selanjutnya Ketika maggot sudah berkembang dan siap panen, maggot tersebut ada yang dijual kepada petani ikan dan ada yang dikeringkan untuk jadi pakan ternak.
Maggot juga menghasilkan pupuk organik dari bubur sampah yang dimakannya. Pupuk tersebut pun bisa dijual ke petani setempat dengan harga yang lebih murah dibanding dengan pupuk kimia. Hal ini sangat membantu petani karena modal mereka yang tak banyak apalagi semenjak terdampak pandemic Covid-19.
Pupuk kompos kasgot dari maggot pun lebih bagus karena banyak kandungan proteinnya. Dengan adanya pupuk kasgot dari proses budidaya maggot, para petani merasakan manfaatnya karena pupuk kasgot mampu menjadi alternatif pemupukan di areal persawahan. Mereka merasakan bahwa tanah semakin sehat, karena mengurangi pupuk kimia atau pabrikan.
Mengelola 5 Ton Sampah Setiap Hari
Kegiatan budidaya maggot yang dilakukan Arky ternyata didukung oleh banyak pihak termasuk pemerintah Banyumas. Pemerintah tentu merasa terbantu karena sampah di TPA berkurang dan sebagian sampah di Banyumas dapat dikelola dengan baik serta memberi peluang usaha bagi Masyarakat. Untuk itu pemerintah memberikan dukungan tempat pengelolaan bubur sampah di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST). Dengan begitu tidak ada lagi timbunan sampah di sudut desa karena langsung dikumpulkan oleh petugas dari program Arky ini.
Sebelum mampu mengolah sampah organik hingga 60 ton, sebenarnya Arky juga membutuhkan proses panjang. Ia sebenarnya sempat membangun usaha di Bandung lalu balik lagi ke Banyumas pada saat kabupaten tersebut mengalami krisis sampah tahun 2018.
Menurut Arky dekomposer maggot, hanya memerlukan waktu 24 jam. Lalu bau sampah organik paling hanya 1-2 jam saja, setelah itu hilang berkat kerja maggot. Maggot tersebut mampu mengurai sampah organik hingga 4-10 kali berat badannya.
Budidaya Maggot ini memberi perubahan positif pada Banyumas, karena sebelumnya pengolahan sampah di Banyumas tergolong sangat buruk. Sampah begitu saja dibuat ke TPA padahal bisa menimbulkan masalah baru dengan bertumpuknya sampah di TPA.
Melalui program ini, Arky berhasil memproses setidaknya lima ton sampah organik setiap hari. Lalu setelah proses, sampah yang tidak terurai hanya tersisa 30% yang Kembali ke TPA. Jauh sangat berkurang dari sebelumnya saat tidak ada pengolahan sampah.
Terbukanya Lapangan Kerja
Berkat kesabaran dan ketekunan Arky melaksanakan program yang ia jalani. Kegiatan budidaya maggot ini semakin dikenal. Tak hanya sampah berkurang, program ini juga mampu membuka peluang usaha dan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Kondisi desa pun semakin asri karena tidak ada lagi penumpukan sampah.
Arky telah mempunyai setidaknya 30 mitra pembudi daya manggot dan mengajak masyarakat sekitar untuk bekerja dalam pengolahan bubur sampah dan menjual manggot sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan lebih baik.
Meskipun berjalan lancar. Kegiatan Arky ini juga tetap menghadapi tantangan. Keterbatasan sumber daya dan banyaknya sampah yang harus dikelola setiap harinya kadang diluar kemampuan mereka. Misalnya pada hari-hari dimana pekerja libur, sampah kadang menumpuk dan menimbulkan bau menyengat yang membuat Masyarakat cukup terganggu. Namun Arky tetap berupaya memberikan pengertian hingga Masyarakat mau memaklumi kekurangan itu.
Harapan Arky, semoga program pengolahan sampah melalui budidaya ini mendapat respon positif dan dukungan dari banyak pihat sehingga masalah sampah bisa diatasi. Ia pun berharap dapat membantu lebih banyak lagi masyarakat agar lebih sejahtera melalui usaha maggot.