Ikan sidat dan belut kerap dianggap sama oleh Masyarakat. Namun keduanya berbeda meski punya kemiripan. Bentuknya bulat memanjang dengan bentuk kepala yang cukup mengerikan. Sekilas seperti ular, masih belum terlalu terkenal di Indonesia, apalagi mencicipinya.

Meski dengan kondisi fisik demikian. Sidat memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, bahkan sangat popular di beberapa negara di Asia Timur. Jepang  misalnya, menempatkan ikan sidat sebagai salah satu menu istimewa. Sidat memiliki kandungan vitamin, mikronutrien,  Omega 3 (EPA) dan Omega 6 (DHA)-nya, yang membantu perkembangan otak serta berfungsi optimal pula sebagai antioksidan.

ikan sidat bengkulu

Permintaan sidat ini berpotensi untuk menjadi salah satu mata pencaharian bagi nelayan. Namun di sisi lain, belum banyak nelayan memahami potensi ikan sidat. Penangkapan sidat pun kerap dilakukan dengan sentruman dan potassium yang mengancam ekosistem sidat itu sendiri.

Kegelisahan ini akhirnya membawa Randi Anom Putra bersama rekannya Rego Damantara dan Akri Efrianda untuk  membentuk  Penyuluh Penangkap Ikan Sidat Liar (PPILAR). Mereka memberikan penyuluhan kepada nelayan agar bisa menangkap sidat dengan cara yang lebih ramah lingkungan.

randi anom ppilar bengkulu

Fakta tentang penangkapan ikan sidat yang tidak ramah lingkungan ini awalnya ditemukan oleh Randi saat melakukan penelitian skripsinya mengenai ikan sidat di tahun 2015. Ia menemukan bahwa potensi ikan sidat sangat banyak. Namun ikan yang cukup langka ini ditangkap dengan cara yang cukup ekstrim yaitu menabur potassium dan penyentruman. Alhasil bukan hanya sidat mati yang tertangkap, tetapi ikan yang berada disekitar juga ikut mati dan juga berbahaya saat dikonsumsi.

Perjalanan Randi Bersama PPILAR bukanlah hal yang mudah. Sejak 2016, mereka menyosialisasikan penangkapan ikan sidat ramah lingkungan dengan alat tradisional, Bubu, kepada nelayan Desa Rawa Makmur dan Arga Makmur, Bengkulu.

Proses edukasi kepada Masyarakat cukup sulit, bahkan cukup sering mereka ditolak dan diabaikan. Nelayan beranggapan bahwa penangkapan sidat dengan mengggunakan bubu tidak akan efektif karena hasil tangkapan sedikit yang akan mengurangi pendapatan mereka.

Tetapi mereka terus meyakinkan nelayan untuk menggunakan alat tradisional saat menangkap ikan sidat karena sidat yang ditangkap dalam keadaan hidup dihargai cukup mahal sekitar 60 ribu per kilogram dan bisa diekspor. Sedangkan Sidat yang sudah mati dihargai 30 ribu per kilogram.

Tawaran harga ini cukup menyemangati para nelayan. Randi memberikan harga yang cukup mahal, dengan syarat ikan sidat yang ditangkap masih hidup. Tak sampai disitu, PPILAR pun menyediakan “bubu” gratis untuk nelayan dan mereka menyerahkan alat sentrum dan potassium.

penyuluh ikan sidat

Kelompok PPILAR terus mendatangi nelayan untuk mengajak mereka meninggalkan cara penangkapan yang berbahaya untuk kelestrarian alam. Perlahan semakin banyak nelayan yang tergerak hatinya. Kini sudah 20 nelayan yang bergabung di PPILAR, 15 orang di Kota Bengkulu, di Bengkulu Utara sebanyak 2 orang, dan di Bengkulu Selatan sebanyak 3 orang. Bergabungnya para nelayan ini karena mereka merasakan manfaat dibanding cara tangkap sidat sebelumnya.

Saat menggunakan alat sentrum dan potassium, eksosistem sidat terancam, dan penangkapan hanya bisa dilakukan sekali dalam dua minggu. Namun sejak mengubah pola penangkapan lebih ramah lingkungan, ekosistem semakin baik. Penangkapan dengan bubu meningkatkan jumlah tangakapan. Kini Rata-rata, seorang nelayan bisa menangkap 15-25 kg ikan sidat per minggu.  Pun ikan sidat yang hidup bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi.

Selain mengedukasi Masyarakat, PPILAR yang  menerima Apresiasi Satu Indonesia Awards 2017 ini juga memiliki beberapa kolam sidat untuk penangkaran. Kolam-kolam ini sebagai wadah untuk meletakkan sidat dari tangkapan nelayan, karena sejauh ini Randi dan timnya terus mensubsidi bubu bagi nelayan dan membeli ikan sidat hasil tangkapan.

Meskipun merogoh kantong sendiri, Randi tak pernah Lelah berkontribusi menjaga kelestarian lingkungan dan mengubah pola pikir Masyarakat. Ia berharap kedepannya ikan sidat dapat dijadikan ladang bisnis dan bisa bermitra dengan beberapa rumah makan untuk mengolah ikan sidat.

Bagikan postingan ini :)

riafasha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *